PENGUKURAN ANTROPOMETRI : LILA dan IMT

A. JUDUL PRAKTIKUM
PENGUKURAN ANTROPOMETRI

B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Untuk mengetahui penilaian status gizi secara antropometri
2. Untuk mengetahui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)
3. Untuk mengetahui pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA)

C. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Antropometri merupakan salah satu metode yang dapat dipakai secara universal untuk mengukur ukuran, bagian dan komposisi dari tubuh manusia. Pertumbuhan anak-anak dan dimensi tubuh pada segala usia dapat mencerminkan kesehatan dan kesejahteraan dari masyarkat, sehingga antropometri dapat juga digunakan untuk prediksi performa, kesehatan, dan daya tahan hidup. Selain itu, aplikasi antropometri mencakup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas. 
Dewasa ini, dengan perkembangan zamandan masuknya budaya asing ke Indonesia berdampak kepada masyarakat yang lebih memilih berbagai hal secara instan terutama hal makanan. Masyarakat memilih makanan tanpa mengetahui kandungan gizi yang seimbang dan cenderung memilih makanan yang tinggi lemak atau bahkan tidak bernilai gizi seperti makanan cepat saji. Tentu hal ini menimbulkan masalah penyakit obesitas atau bahkan jantung koroner.
Masalah lain yang ditimbulkan menyangkut gizi adalah malnutrisi. Di mana hal ini menjadi penyebab primer morbiditas dan motalitas anak balita di negara berkembang. Hal ini merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab kematian anak terbesar. Faktor penyebab terjadinya gizi kurang adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi serta kesediaan pangan dikeluarga atau bahkan pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Upaya perbaikan status gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan masyarakat menderita masalah gizi ditambah dengan minimnya peran tenaga ahli kesehatan akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan dalam hal pengurangan angka kemiskinan, morbiditas dan mortalitas. Kita sebagai tenaga ahli kesehatan masyarakat terkait perlu memahami problem masalah status gizi dan dampak yang ditimbulkan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, dengan berbagai alasan di atas hal inilah yang melatar belakangi perlunya praktikan melakukan praktikum pengukuran antropometri ini. Diharapkan setelah melakukan praktikum, praktikan dapat mengetahui status gizi masyarakat berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LILA) sehingga diidentifikasi apakah kondisi masyarakat tersebut mengalami malnutrisi atau bahkan obesitas. Dengan praktikum ini pula nantinya menjadi indikator permaslahan nutrisi seperti apa yang ada di lapangan sehingga, tenaga ahli kesehatan masyarakat dapat menyelesaikan permasalahankesehatan serta melaksanakan program-program pencegahan dan penanganan masalah gizi sehingga nantinya dapat mengurangi angka morbiditas dan motalitasterkait status gizi danmasyarakatpun dapat memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

2. Tinjauan Teori
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan diasses (dinilai). Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya tergolong normal ataukah tidak normal (Saifuddin, 2011).
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metrosAnthropos artinya tubuh dan metrosartinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri gizi adalah pengukuran yang berhubungan dengan berbagai macam dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara protein dan energi. Ketidak seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Saifuddin, 2011).
Antropometri secara luas akan digunkan sebagai petimbangan ergonomis dalam proses perencanaan (design) produk maupun sistem kerja yang memerlukan interaksi manusia. Dimensi yang diukur pada antropometri statis diambil secara linear (lurus) dan dilakukan pada permukaan tubuh. Agar hasilnya dapat representatif, maka pengukuran harus dilakukan dengan metode tertentu terhadap individu (Saifuddin, 2011).
Dilihat dari penggunaan antropometri yang sangat luas, maka salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang tenaga ahli gizi adalah mampu mengukur status gizi mengenai konsep petumbuhan, ukuran antropometri, kontrol kualitas data antropometri dan evaluasi indeks antropometri, kelemahan dan keunggulan penggunaan antropometri dalam penilaian status gizi (Nogrogo, 2002).
Dari definisi di atas dapat ditarik pengetian bahwa antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis tingkat ukuran tunuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit (Nogrogo, 2002).
Beberapa syarat yang mendasari penggunaan dari antropometri adalah (Fatmah, 2005) :
a) Alatnya mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas, microtoice.
b) Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif.
c) Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus profesional, tetapi juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu.
d) Biaya relatif murah, karena alat mudah didapat dan tidak memerlukan bahan-bahan lainnya, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. Memang ada alat antropometri yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti "Skin Fold Caliper" untuk mengukur tebal lemak di bawah kulit.
e) Hasilnya mudah disimpulkan karena mempunyai ambang batas (cut off points) dan baku rujukan yang sudah pasti.
f) Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.
g) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
h) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas.
i) Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
j) Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
Di samping keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan (Fatmah, 2005) :
a) Tidak sensitifnya metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Di samping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.
b) Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.
c) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi.Kesalahan ini terjadi karena :
• Pengukuran.
• Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan.
• Asumsi yang keliru.
d) Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan:
• Latihan petugas yang tidak cukup.
• Kesalahan alat atau alat tidak ditera.
• Kesulitan pengukuran.
Indikator antropometri antara lain Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), Lingkar Lengan Atas (LILA), dan Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK). Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks, misalnya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U) dan sebagainya (Barasi, 2008).
LILA merupakan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Pengukuran LILA dilakukan pada pertengahan antara pangkal lengan atas dan ujung siku dalam ukuran cm (bagian pertengahan jarak antara olekranon dan tonjolan akromion). Lingkar lengan atas merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi karena mudah, murah, dan cepat. Tidak memerlukan data umur yang terkadang susah diperoleh. Memberikan gambaran tentang keadaan aringan otot dan lapisan lemak bawah kulit (Fatmah, 2005)
Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang 23,5 cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak (Karina, 2007).
Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)(Karina, 2007).
Kelebihan Indeks LILA/U (Karina, 2007) :
1. Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.
2. Alat ukur murah, sangat ringan, dan dapat dibuat sendiri.
3. Alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi, sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis.
Kekurangan Indeks LILA/U (Karina, 2007) :
1. Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat.
2. Sulit menentukan ambang batas.
3. Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 sampai 5 tahun yang perubahannya tidak nampak nyata.
LILA mencerminkan cadangan energi sehingga dapat mengetahui (Karina, 2007) :
1) Status KEP pada balita.
2) KEKE pada ibu hamil dan bayi beresiko BBLR.
Tabel ambang batas pengukuran LILA (Sandjaja, 2010).
Klasifikasi
Batas Umur
Wanita Usia Subur
KEK
<28,5 cm
Normal
28,5 cm
Pria
KEK
<29,3 cm
Normal
29,3 cm
Bayi Usia 0-30 hari
KEK
<9,5 cm
Normal
9,5 cm
Balita
KEK
<12,5 cm
Normal
12,5 cm
Adapun rumus untuk menghitung LILA adalah sebagai berikut (Sandjaja, 2010) :
Interpretasi status gizi berdasarkan % LILA (Sandjaja, 2010) :
• Obesitas: >120%
• Overweight : 110-120%
• Normal : 90-110%
• Underweight : < 90%
Kelemahan dari pengukuran LILA adalah sebagai berikut (Sandjaja, 2010):
• Baku LILA yang sekarang digunakan belum mendapat pengujia memeadai untuk digunakan di Indonesia.
• Kesalahan pengukuran relatif lebih besar dibandingkan pada tinggi badan.
• Sensitif untuk golongan tertentu (prasekolah), tetapi kurang sensitif untuk golongan dewasa.
IMT berguna sebagai indikator untuk menentukan adanya indikasi kasus KEK (kekurangan energi kronik) dan kegemukan (obesitas). Kini IMT banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur status gizi pasien karenaIMT dapat memperkirakan ukuran lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi tetapi lebih akurat daripada pengukuran berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih banyak dilakukan saat ini karena orang yang berlebihan berat bdan atau gemuk yang lebih beresiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, hipertensi dan beberapa bentuk penyakit kanker (Hartono, 2006).
Berat untuk rasio tinggi menunjukkan berat badan dalam kaitannya dengan tinggi dan sangat berguna untuk menyediakan ukuran kelebihan berat badan dan obesitas dalam populasi orang dewasa. Oleh karena itu hal ini kadang-kadang disebut sebagai indeks obesitas. Indeks massa tubuh digunakan dalam preperences untuk lainnya berat/tinggi indeks, termasuk rasio berat tinggi, indeks Ponderal, dan indeks Benn. Hal ini sekarang digunakan secara ekstensif secara internasional untuk mengklarifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa (Asmayuni, 2007).
Kegemukkan disebabkan oleh ketidak imbangan kalori yang masuk dibanding yang keluar. Kalori diperoleh dari makanan sedangkan pengeluarannya melalui aktivitas tubuh dan olah raga. Kalori terbanyak (60-70%) dipakai oleh tubuh untuk kehidupan dasar seperti bernafas, jantung berdenyut dan fungsi dasar sel. Besarnya kebutuhan kalori dasar ini ditentukan oleh genetik atau keturunan namun aktivitas fisik dan olah raga dapat meningkatkan jumlah penggunaan kalori keseluruhan (Asmayuni, 2007).
Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia yaitu (Gibson, 2005) :

Kategori
IMT
Kurus
Kekurangan BB tingkat berat
<17,0

Kekurangan BB tingkat ringan
17,0 – 18,5
Normal

18,5 – 25,0
Gemuk
Kelebihan badan tingkat ringan
>25,0 – 27.0

Kelebihan badan tingkat berat
>25,0 – 27.0
Berat badan yang kurang ataupun berlebihan akan menimbulkan risiko penyakit , seperti yang terdapat pada tabel berikut (Gibson, 2005) :
Berat badan
Kerugian
Kurang (kurus)
1. Penampilan kurang baik
2. Mudah letih
3. risiko penyakit, antara lain penyakit infeksi, depresi, anemia, diare.
4. Pada wanita usia subur yang hamil mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi dengan BBLR
5. Produktivitas rendah
Berlebihan (gemuk)
1. Penampilan kurang menarik
2. Gerakan lamban
3. Risiko sakit, anta lain jantung, kencing manis, hipertensi, gangguan sendi dan tulang, gangguan gunjal
4. Pada wanita usia subur, dapat mengganggu  siklus menstruasi dan faktor penyakit pada persalinan
Gizi kurang akut biasanya mudah untuk dideteksi, berat badan anak akan kurang dan kurus, mereka akan memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan dan peningkatan resiko terkena infeksi. Perempuan yang kurang makan (kurang gizi) punya kecenderungan untuk melahirkan anak dengan berat badan rendah yang punya resiko lebih besar terkena infeksi (Hartono, 2006).
Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-anak, remaja maupun orang dewasa.  Pada anak-anak dan remaja pengukuran IMT sangat terkait dengan umurnya, karena dengan perubahan umur terjadi perubahan komposisi tubuh dan densitas tubuh.  Karena itu, pada anak-anak dan remaja digunakan indikator IMT menurut umur, biasa disimbolkan dengan IMT/U (Asmayuni, 2007).
IMT adalah perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat.  Cara pengukurannya adalah pertama-tama ukur berat badan dan tinggi badannya.  Selanjutnya dihitung IMT-nya, yaitu (Supariasa, 2001) :
Pada orang dewasa faktor umur tidak dipertimbangkan dalam menghitung IMT.  Pada orang dewasa biasanya tinggi badannya tidak relatif stabil, sehingga variasi yang terjadi hanya pada berat badannya (Supariasa, 2001).


Klasifikasi IMT Dewasa menurut WHO (Gibson, 2005).
Klasifikasi
Interpretasi
< 16,00
Severe thinness
16,00 – 16,99
Moderate thinness
17,00 – 18,49
Mild thinness
18,50 – 24,99
Normal
25,00 – 29,99
Grade 1 overweight
30,00 – 39,99
Grade 2 overweight
≥ 40,0
Grade 3 overweight

Klasifikasi IMT Dewasa menurut Kemenkes RI (2003) (Gibson, 2005).
Kategori IMT
Klasifikasi
< 17,0
Kurus (kekurangan berat badan tingkat berat)
17,0 – 18,4
Kurus (kekurangan berat badan tingkat ringan)
18,5 – 25,0
Normal
25,1 – 27,0
Kegemukan (kelebihan berat badan tingkat ringan)
> 27,0
Gemuk (kelebihan berat badan tingkat berat)
Penggunaan IMT mempunyai kelemahan.  Kelemahan yang terjadi adalah dalam menentukan obesitas.  Kita tahu bahwa obesitas adalah kelebihan lemak tubuh. IMT hanya mengukur berat badan dan tinggi badan.  Kelebihan berat badan tidak selalu identik dengan kelebihan lemak.  Berat badan terdiri dari lemak, air, otot (protein), dan mineral.  Pada seorang yang sangat aktif, misalkan olahragawan, maka biasanya komposisi lemak tubuhnya relatif rendah dan komposisi ototnya relatif tinggi.  Pada orang yang sangat aktif IMT yang tinggi tidak berarti kelebihan lemak tubuh atau bukan obesitas (Supariasa, 2001).
D. HASIL
E. PEMBAHASAN
Pengukuran IMT kali ini menggunakan dua probandus yang berenis kelamin pria dan wanita. Alat yang digunakan dalam perhitungan IMT yakni microtoice dan timbangan digital yang perhitungannya cukup akurat hingga dua angka di belakang koma, sedangkan untuk lingkar lengan atas menggunakan pita LILA. Untuk interpretasi dari hasil perhitungan IMT praktikan menggunakan standar dari Kemenkes 2003 serta WHO sehingga, hasil probandus dicocokkan dan dibandingkan dengan standar yang ada. Adapun hasilnya didapat dua perbedaan yang terlihat yakni underweight dan overweight dan dapat dibandingkan sebagai berikut :
1. Probandus I
Perhitungan IMT ini dilakukan pada wanita bernama Mia dengan melakukan pengukuran secara langsung dan didapat hasil IMT-nya yakni 16,94. hal ini jika dicocokkan dan dibandingkan dengan standar pada Kemekes 2003 (dengan standar normal 18,5 – 25,0) maka probandus tergolong kurus (kekurangan berat badan tingkat berat) sedangkan, jika dibandingkan dengan standar WHO (dengan standar 18,50 – 24,99) maka probandus tergolong moderate thinnessatau kurus sedang.
Sedangkan untuk LILA didapatkan hasil pengukuran 20,9 cm yang diakumulasikan dalam persen sebesar 73,33%. Berarti jika dilihat pada standar LILA wanita normal sebesar 28,5 atau dalam persen sebesar 90% maka ini angka ini jauh mendekati normal dan termasuk underweight atau kekurangan bobot tubuh.
Maka praktikan menyarankan untuk meningkatkan frekuensi makan agar meningkatkan bobot badan. Probanus dapat hendaknya mengonsumsi makanan dengan komposisi gizi utama yang saling melengkapi yakni : karbodidrat 60-65% total kalori sehari, 10-15% protein, dan 25_30% lemak. Pratikan uga menyarankan probandus untuk ikut konsultasi dengan dokter atau ahli gizi, terlebih lagi jikaunderweight yang dialami telah lama. Bisa saa ada gangguan atau penyakit yang mendasari, sehingga perlu melakukan terapi nutrisi.
Adapun saran untuk menaikkan bobot tubuh yakni sediakan camilan tambahan seperti roti isi, segelas susu sebelum tidur dan memilih makanan yang berkalori tinggi seperti sereal, kacang-kacangan dan sari buah. Perbaiki juga pola makan agar teratur dan biasakan untuk sarapan serta hindari menunda makan.
2. Probandus II
Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang menggambarkan kadar adipositas probandus. Dan berdasarkan hasil pengukuran dan dihubungkan dengan standar Kemenkes RI (2003) maka dapat dilihat bahwa pengukuran IMT-nya melebihi nilai normal (18,5-15,00) yakni 28,95 sedangkan bila dilihat dengan standar ambang batas WHO nilai IMT-nya melebihi nilai normal (18,5-24,99) yang berarti probandus bernama Hafids berenis kelamin pria dalam keadaan kelebihan berat badan tingkat berat atau dalam WHO disebut kegemukan tingkat I. 
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan diperoleh data LILA yaitu 33 cm dengan persenan senilai 112,62%. Artinya, mengacu pada standar normal maka probandus yang bernama Hafidz berada dalam klasifikasioverweight atau kegemukan dikarenakan melampaui standar normal yakni 29,3 cm dan dalam persen senilai 90-110%.
Maka praktikan menyarankan untuk probandus dengan memulai merubah gaya hidup dengan cara mengendalikan kebiasaan ngemil dan memperhatikan keseimbangan asupan makanan agar tidak mengkonsumsi makanan dengan umlah kalori yang berlebih, lakukan dengan menerapkan diet rendah kalori seimbang (800-1700 kalori). 
Selain itu, hindari stres yang menyebabkan meningkatnya keinginan untuk makan dan tekan nafsu untuk ngemil dan konsumsi air putih lebih banyak dari biasanya serta meningkatkan aktifitas fisik untuk membakar lemak probandus pada kegiatan sehari-hari misalnya saja menggunakan tangga untuk naik turun atau naik satu lantai. Luangkan waktu untuk melakukan olahraga secara teratur sehingga mengeluarkan kalori akan meingkat dan aringan lemak akan dioksidasi. 
Lakukan olahraga untuk ketahanan sistem kardiovaskuler, untuk kelenturan sendi, dan latihan yang melibatkan penggunaan otot-otot besar pada tubuh. untuk memaksimalkan diet probandus, maka dapat membuat target agar diri dapat termotivasi untuk cepat dalam mencapai tuuan yakni tubuh yang sehat dengan pola hidup yang sehat pula.
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan maslah yang sanagt penting karena dapat memicu teradinya penyakit degeneratif. Berat badan yang kurang pada probandus I yakni wanita usia subur akan memungkinkan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Sedangkan berat badan yang lebih pada probandus II dapat memicu penyakit degeneratif seperti antung, kolestrol, obesitas dan sebagainya.
Adapun kesulitan dalam praktikum perhitungan antrpometri kali ini adalah pada saat menimbang berat badan para praktikan harus menunggu atau bergantian untuk mengetahui bobot probandus dikarenakan alat timbangan digital yang jumlahnya terbatas yakni satu buah dan ini memperlambat waktu praktikum serta para probandus yang cenderung menggunakan pakaian berbahan kain yang cenderung berat.Selain itu juga kesulitan praktikan dalam membaca microtoice dikarenakan probandus yang lebih tinggi dibandingkan praktikan sehingga harus berjinit. Praktikan juga kesulitan dalam mengambil data LILA dengan akurat dikarenakan probandus menutupi lengan dengan pakaian.
Adapun kelemahan dalam praktikum indeks massa tubuh ini yakni dalam menentukan obesitas.  Kita tahu bahwa obesitas adalah kelebihan lemak tubuh. Namun, IMT hanya mengukur berat badan dan tinggi badan saja.Kelebihan berat badan tidak selalu identik dengan kelebihan lemak, bisa saja itu hanya massa ototnya yang lebih besar dibanding lemaknya. Berat badan terdiri dari lemak, air, otot (protein), dan mineral.  Pada seorang yang sangat aktif, misalkan olahragawan, maka biasanya komposisi lemak tubuhnya relatif rendah dan komposisi ototnya relatif tinggi.  Pada orang yang sangat aktif IMT yang tinggi tidak berarti kelebihan lemak tubuh atau bukan obesitas, maka perhitungan ini juga tidak dapat dijadikan patokan bahwa probandus mengalami obesitas.
Selain IMT, perhitungan status gizi probandus menggunakan LILA juga tidak dapat dijadikan acuan karena belum tentu persebaran lemak seseorang tersebut rata atau bisa jadi lemaknya hanya terpusat pada bagian tertentu yakni pada lengan sehingga probandus diklasifikasikan ke dalam gemuk. Sebaliknya, bisa saja lemak probandus tersebar tidak di lengan sehingga pada perhitungan LILA probandus dikelompokkan dalam kekurangan bobot tubuh.

F. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang dilakukan praktikan tentang “Pengukuran Antropometri” maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Indeks Massa Tubuh (IMT) probandus I yakni Mia (wanita) didapat sebesar 16,94 dan tergolong kekurangan bobot tubuh (kurus).
2. LILA probandus I sebesar 73,33% dan tergolong underweight. Status gizinya dapat disimpulkan kekurangan gizi.
3. Indeks Massa Tubuh (IMT) probandus II yakni Hafidz (pria) didapat sebesar 28,95 dan tergolong kelebihan bobot tubuh (gemuk).
4. LILA probandus ii sebesar 112,62% dan tergolong overweightStatus gizinya dapat disimpulkan kelebihan gizi.

G. DAFTAR PUSTAKA
Asmayuni. (2007)Kegemukan (Overweight) pada Pria 25-50 Tahun.
Barasi, Mary E. (2008)At A Glane Ilmu Gizi. Jakarta : Erlangga
Fatmah. (2005). Gizi dalam Daur Kehidupan. Bandung : PT. Refika Aditama
Gibson, Rosalind S. (2005)Principle Nutritional Assesment. Oxford : University Press
Hartono, Andry. (2006)Terapi Gizi dan Diet Rumah SakitJakarta : EGC
Karina, Esa. (2007). Asupan Nutrisi Terhadap Keadian Penyakit. Surabaya : Cermin Dunia Kedokteran
Nogrogo, Adi. (2002)Faktor Usia dan Status Gizi.Surabaya : Cermin Dunia Kedokteran
Sandjaja, dkk. (2010)Asuhan Gizi Nutrional Care Process. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sirajuddin, Saifuddin. (2011)Penuntun Praktikum Penilaian Status Gizi Secara Biokimia dan Antropometri. Makassar : Universitas Hasanuddin
Supariasa, dkk. (2001)Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FOOD FREQUENCY QUESTIONAIRE

PENGENALAN ALAT LABORATORIUM DASAR ILMU GIZI